Wednesday 14 July 2010

Kisah dari Palmerah


Dulu....

Sang ibu penuh kasih sayang. Sang ayah selalu penuh canda meskipun terkadang emosi tak bisa ditahannya. Dua anak kecil yang sering dibilang kembar, padahal kakak beradik, biasa bersepeda di luar atau sekadar bermain taplak. Sang kakak selalu berada di sebelah adiknya yang selalu dihiasi cengiran manis di wajahnya, bercanda tawa bersama. Sang nenek selalu memasak makanan enak dan yang pasti penuh gizi. Sang bibi yang hangat punya hobi mengajak dua anak kecil tadi jalan-jalan. Sang paman, meskipun cuek, tak pernah keberatan dua anak kecil itu bermain dengannya.



Sekarang....

Sang ibu disibukkan di toko dengan uang yang kadang seret kadang lancar. Sang ayah mengalihkan perhatiannya ke seperangkat elektronik yang dijajakannya. Sang nenek tetap memasak makanan bergizi namun keluhan selalu keluar dari mulutnya. Sang bibi pergi dari rumah, tinggal di tempat berbeda dan bergelimang gemerlap duniawi. Sang paman masih di situ, bersama anggota keluarga barunya, membangun keluarga yang menganut prinsip materi dengan tingkat kecuekan yang semakin tinggi. Sang adik yang dahulu di wajahnya dihiasi cengiran kini menjadi seringai super judes nan acuh, pikirannya pun terjun semakin dalam bersama 'si cowok' dan teman-temannya.

Sang kakak........................bingung sendiri di sini.

Wednesday 7 July 2010

Kemarin di Bus Jepang Itu


Baru kemarin kejadiannya. Di bus Jepang itu, saya tengah duduk dengan earphone terpasang di balik kerudung. Mata tertuju pada sosok di samping saya. Saya sadar sepanjang perjalanan mata saya tak lepas darinya.

Dia-lah seorang kenek wanita. Mungkin pekerjaan membuat sosoknya pun terlihat kuat nan kekar. Dengan suaranya yang lantang, ia meneriakkan 'Grogol, Grogol!' Ia pun naik-turun dan bergelantungan di pintu bus itu layaknya kenek pada umumnya.

Mungkin sebagian besar mengaitkan peristiwa itu dengan emansipasi, kebebasan, atau yang sejenisnya. Kalau saya melihatnya, saya tak peduli dengan teori emansipasi itu.
Tapi, kemarin, yang ada, di pikiran saya terus terngiang, 'Zaman edan yang membuat seorang wanita harus bekerja seperti itu'.

Pikiran saya ini yang mungkin sering dikatakan 'close minded' atau bahkan pikiran dari zaman purba. Tapi, toh, saya tak mau melepas pemikiran ini. Coba bayangkan ketika wanita masih diperlakukan mulia, selalu dilindungi kehormatannya. Mungkin tak akan pernah ada kejadian wanita berdiri di bus dari Cileunyi sampai Jakarta. Pastinya pemuda-pemuda memuliakan wanita dengan mempersilakannya duduk.

Seandainya zaman masih mulia, kenek wanita itu tentu akan berjuang di rumahnya untuk membesarkan anak yang kelak di masa depan akan berguna baginya juga agama. Tak perlu berhadapan dengan kerasnya kehidupan jalan, mengeluarkan tenaga yang ekstra untuk uang yang tak seberapa. Jadi terlintas, bagaimana nasib suami dan anak kenek wanita itu jika si ibu seharian sibuk berjuang di jalan? Atau, ia belum menikah? Lalu, bagaimana masa depannya? Apakah harus diisi dengan kesepian di hari tua?

Bukannya jadi egois, ya, kalau kita malah membiarkannya dengan kedok emansipasi? Kalau saya, sih, lebih memilih 'ubah zaman edan' ini dan kita sama-sama hidup mulia. Terserah kalau masih ada yang bilang saya orang purba.