Sunday 31 August 2014

30/8/2014

C. terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Kawat-kawat dari springbed lapuknya semakin brutal memaksa keluar dari busa yang makin menipis. Tapi bukan kawat-kawat sialan itu yang membuatnya terbangun. Ia, toh, sudah biasa tidur bersama mereka, dengan diiringi sakit punggung setiap paginya.

Pagi ini, C. bangun dengan posisi meringkuk di bawah selimut tipisnya. AC baru yang diset 26 derajat dan cuaca habis hujan semalam bukan kombinasi yang baik di pagi hari.

Dengan mata masih setengah terpejam, C. berjalan terhuyung ke toilet. Air kencing pastilah minta dikeluarkan karena udara sedingin itu.

Tak sampai 2 menit, C. sudah keluar lagi dari toilet, siap kembali meringkuk di atas ranjang 'kawat'-nya. Ia menekan tombol off remot AC dengan kesal. Ini hari Sabtu. Seharusnya ia bisa tidur sampai jam 10. Ini baru jam 6 lewat.

Mata C. kembali terpejam. Rasa kantuknya luar biasa besar, tapi instrumen lagu Mandarin yang bergaung di ruang tengah rasanya terlalu keras. Itu, itu ulah Neneknya di pagi hari.

C. menyerah. Ia keluar dan menyeduh kopi. Ia mengerutkan alis melihat stok kopinya hanya tinggal dua bungkus. Mungkin besok ia bisa pergi ke supermarket. Tapi pasti ia tak akan membeli kopi yang ini lagi. Rasanya seperti tiramisu murahan dari toko kue di plaza-plaza kelas bawah.

C. menyeruput kopinya. Ia membuka bungkus malkist di depannya. Dua ini saja yang jadi menu sarapannya. Ia masih dalam program diet yang disebut sehari berhasil sehari gagal. Ditemani Cormoran Strike yang berusaha memecahkan kasus, C. menikmati sarapannya dengan tenang.

Nenek C. kemudian memanggil dari dapur. Ia pun merencanakan usaha penggagalan diet dengan mengguncang-guncangkan bungkus mie goreng instan di depannya. C. mengangguk dan ber'hmmm' namun perasaan bersalah meliputinya. Ia sudah bangga setengah mati tadi malam berhasil tidur dengan perut kempes dan tulang pinggul yang ketara. Tapi mungkin sepiring mie goreng di pagi hari tak ada salahnya.

Lalu berlanjutlah pagi hari C. masih ditemani Cormoran Strike duduk di kursi ayun di ruang tengah. Neneknya keluar rumah. C. sedikit-sedikit bisa mendengar suara bising tetangga-tetangga yang bercakap di depan pagar besi rumahnya. Tak ada yang bisa ia tangkap.

Suara pintu terbuka. Ia mendengar suara ibu-ibu memanggil papanya dengan nama yang salah dan terdengar aneh, jadi semacam panggilan alay remaja ke pacarnya.

Dengan berat hati, C. menandai halaman bukunya dan merespon panggilan itu.

Oh itu dia si ibu-ibu berambut putih yang biasa. Ada raut tak suka di wajah C., dan C. pun bisa menangkap raut tak suka di wajah ibu itu. C. masih ingat betul betapa seringnya ia bertemu ibu itu di jalan dan berapa seringnya ibu itu tak menggubris senyum sapa yang berusaha disunggingkannya. Orang-orang di sini memang begitu. Bersikap manis saat datang ke rumah, minta sumbangan, pinjam tangga, minta daun pandan, atau apalah. Tapi saat bertemu C. di luar rumah, mereka hanya menatap C. dengan pandangan menghakimi.

C. tak tahu kenapa ibu itu selalu menampilkan raut tak suka. Mungkin karena rambut pirang C. yang mencolok. Aneh juga, padahal rambut ibu itu putih mencolok.

Tapi ibu itu punya urusan di rumah ini. Ia pun bermanis-manis meminta tolong C. mengambilkan kotak sumbangan merah yang katanya sudah diisi neneknya. C. pun mengitari rumah dengan 'kotak sumbangan merah' di otaknya. Gagal menemukannya, ia memberitahu ibu itu dengan wajah menyesal. Si ibu pamit dan berkata akan datang lagi kalau nenek sudah pulang.

Namun lima menit kemudian ia kembali lagi dan berkata sudah bertemu nenek C. di depan. 'Ada di dekat TV', katanya. C. pun mendekati meja TV dan melihat amplop putih dengan tulisan SUMBANGAN besar-besar. C. ingat betul tadi telinganya mendengar 'kotak sumbangan merah'.

Selesai ibu itu pergi, C. kembali duduk di kursi ayun. Lampu indikator ponselnya berkedip hijau. Ada LINE masuk. Itu sahabat dan partnernya. 'Tolong balas email', 'Tolong telpon si bule'. Lihat, lihat, pikir C., kebiasaannya, kalau klien asing pasti langsung menyerahkannya pada C. dengan bermacam-macam alasan. C. padahal sudah sering bilang ia paling tak bisa diserahkan tugas mengontak si ini itu, tak peduli dari negara mana mereka berasal. C. harusnya hanya berbakat di bidang administrasi. Tanpa C. tak akan ada administrasi rapi di bisnisnya ini, lalu sekarang ia juga harus mengontak si ini itu, hanya karena partnernya yang satu itu terlalu pengecut untuk berbahasa Inggris?!

C. tak menggubrisnya. Tapi lihat saja, mungkin sore hari atau besoknya ia akan menelepon nomor itu. Lalu tak akan mengabari apa yang didapatnya dari si bule kepada si partner.

"I wouldn't give a fuck for this communication thingy," ucap C. yang semakin hari semakin membenci bisnis berantakannya itu.

Keuangan cukup lancar, tapi kalau segalanya berantakan dan tak sesuai yang dikehendakinya, C. nelangsa setengah mati.

C. pun teringat ini hari Sabtu ketiga kalinya yang akan mereka lewati tanpa meeting yang sudah direncanakan dari sebulan yang lalu. Tiga kali mereka sudah buang-buang waktu. Mati, lah. C. lebih baik fokus ke hal lain.

Siangnya, koneksi internet yang dari kemarin mati kini sudah normal kembali. C. pun segera menyalakan laptopnya. Tiga episode terbaru film-film animasi favoritnya sudah menunggu. Adiknya pun terbangun dan langsung duduk di samping, menonton bersamanya. Cormoran Strike tergeletak terabaikan di sampingnya.

Sisa hari itu pun dihabiskan C. menonton film animasi dan video gay porn game di Youtube. Ia tergila-gila pada pangeran ubur-ubur yang gay itu. Cormoran Strike terabaikan di sampingnya.