Friday 31 December 2010

Stain

Entah kenapa, ada ketertarikan berlebih saat kawanan saya dan, tentunya, saya sendiri, berkumpul membentuk lingkaran. Rasa sebal menggebu-gebu terlontar dari setiap bibir insan yang hidup di situ. Tak terkecuali saya. Kita membicarakan dia di saat ribuan kata harus tertulis di kertas-kertas tugas.

Peduli! Ya, kita peduli.

Namun, rasa tertarik berlebih tadi membuat kecurigaan muncul di benak saya. Jika di hati ini memiliki dua tangan, maka tangan itu akan bertepuk riang setiap kali ada kata terlontar yang menurunkan bahkan semakin menjebloskan si dia. Saya curiga pada diri saya dan sedikit menyangsikan kata peduli itu ada.

Terasa seperti noda, mau menghapusnya juga sulit karena lingkaran kawanan itu memancarkan daya tarik begitu kuatnya. Perasaan saya berkata mulut ini semakin kotor karena kesenangannya begitu membuncah tak terkendali.

Sepertinya saya harus berusaha tenang dan mencarikan solusi. Dan semoga noda itu tidak kembali menetes.

Monday 27 December 2010

A Protest


Beberapa hari yang lalu, film menarik muncul di layar televisi. Dengan judul Ghost Rider dan Nicholas Cage sebagai pemeran utamanya, saya pun memilih tidur lebih malam dan menahan kantuk demi film ini. Telat memang, karena film ini sudah booming dari awal kemunculannya di layar lebar tahun 2007 lalu. Tapi, toh, akhirnya saya nonton juga dan yang penting, gratis.

Mata saya pun tertarik menatap alur ceritanya selama lebih dari dua jam. Di tengah menjelang akhir cerita, sebuah adegan menuai protes dari benak saya. Di awal film, ada karakter laki-laki yang matian-matian mengkhawatirkan si tokoh utama, Johnny Blaze, yang selalu nekat mempertaruhkan nyawa demi mempertontonkan pertunjukan motor lompat yang fantastis. Tapi di adegan yang ingin saya protes itu, karakter baik hati ini dipergunakan oleh malaikat murtad untuk menjebak wanita pujaan Johnny Blaze yang merupakan kelemahan dari sang Ghost Rider ini-hari berikutnya ada film Spiderman yang juga isi ceritanya ada penyanderaan Mary Jane yang merupakan kelemahan Peter Spiderman Parker.

Karakter itu pada akhirnya tewas dibekukan malaikat murtad, atau sebut saja iblis, setelah tubuhnya dirasuki. Johnny Blaze datang menemukan tubuh temannya itu sudah tak bernyawa. Kemudian, matanya menyusuri ruangan dan menemukan gadis pujaannya sekarat, namun belum meninggal. Ia pun beranjak mendekati wanita itu, meninggalkan tubuh tak bernyawa temannya.

"Hey, temanmu mati!" protes saya.

Tapi Johnny Blaze tak peduli. Produser pun tak peduli. Itulah akhir dari karakter ini. Mati, bahkan belum sempat saya hafal namanya, dan tak lagi disebut-sebut sampai akhir film. Karakter yang termarjinalkan. Padahal di awal jasanya terlihat besar tapi akhir hidupnya dikemas begitu sederhana.

Thursday 16 December 2010

The Phenomenon of Ulzzang

Recenty, I found an interesting topic in the internet. It was about ulzzang. Actually, it began with my hobby to search the internet all about Korean things. Then, I found this ulzzang.

Literally, ulzzang means best face. This term refers to boys or girls who have pretty face and upload their own picture to the internet. Many Korean actress and actor became famous because of this. Why I consider ulzzang is an interesting thing is not because I like their face. In the beginning, well, I admit that I liked their face and wanted to have the same face as them. However, then, I found a surprising fact of this ulzzang. They all have heavy make-up that makes them really different with their natural face. In this essay, I limit the thing which will be discussed on ulzzang girl. Until I write this essay, I haven’t found the ulzzang boy also makes up as heavy as the girl.

The ulzzang girls usually come from Asia. They have oriental face with small eyes, small nose, and yellow skin. In Indonesia, this complexion is categorizes as light complexion. This also becomes the favourite because it’s still called white but not too pale like European’s. The lacks of this face are in the eyes and nose. The makeup of ulzzang has the capability to diminish this lack and even nullify it. The main point of this kind of makeup is to give the effect of bigger eyes so they will look like anime girls. Ulzzang girls usually put the contact lens. This lens has bigger diameter than normal eyes. It’s about 14 to 18 millimeters. The next step of this makeup is put the make up around the eyes. They usually use eye liner and eye shadow with the dark colour. Besides that, they put the fake eyelashes. Not only that, an ulzzang also put heavy foundation and face powder. The shading is needed to change their small nose into the sharper one. The makeup has finished. Besides makeup, the ulzzang girls have particular hairstyle. They have straight hair and bangs. The last step that they must do is taking a picture. Usually, they take a picture with higher angle. Camera is above their face. Their eyes are toward the camera. It, again, will point out their bigger-anime look like-eyes. Another characteristic of ulzzang photograph is the lips are very thin and cute. The girls thin their lips and sometimes purse their lips in a cute way.
As I said before, I was fond of this kind of face. I thought they, the ulzzang girls, have the natural beauty and cuteness. I used to see the heavy make up in horrible way such as a heavy and colourful eye shadow, very long fake eyelashes, and a very dark eye liner. It’s why I didn’t realize that the ulzzang girls also have the heavy makeup even heavier than the one which I considered as heavy.
The next thing that happened was I thought they cheated because I felt cheated. They manipulate their face to be called pretty. They wear mask which is actually form by the society. In other words, the society decides the meaning of the beauty. The girls follow this decision and do everything to make the society accept them as pretty girl. However, not every people assume this kind of makeup is good. Based on my searching on the internet, many people show their displeasure of ulzzang. They think the ulzzang girls cheated by wearing mask which is heavy makeup. Not only women, but men also argue like that. I found many comments that questions who said the thin lips and anime look like eyes are pretty. Some men think that they prefer a natural face than an ulzzang face.

Nevertheless, I can’t deny that ulzzang become famous because it has many fans. Ulzzang has become the trend among the Asian teenagers. Starting with the anime fever, the comic artists draw their characters which represent Asian people with big eyes, very thin lips, sharp nose, and long legs. Actually, they are different with the physical fact of Asian people. But then, makeup offers the solution. Since that, many people are vying to become anime. In addition, the Korean wave helps ulzzang becomes trend. Although, there are many issues that state Koreans do plastic surgery to become beautiful, they have particular characteristic of face that is considered as pretty nowadays. They have big and round eyes. Their skin is milky white. People use this to make advantages. They pick the pretty human being, train them, and release them to the public to become society’s idols. Every Asian girl’s eyes look at them and then, the desire to be like them is appeared.

The side which accepts many advantages is the one who see this issue as chance to earn money. The actresses and singers are under the management. They use their beauty to earn money. The company owners use these girls as their advertisement’s model. The sales will rise. Not only that, the instrument of ulzzang such as the big contact lens, eyeliner, and other makeup will be salable. The conclusion is the concept of beauty, nowadays, has become a tool to earning money. The one who is trapped in this concept, actually, has become the victim of trend and money maker for the owners of capital.

Wednesday 24 November 2010

"Cause I'm Goo Yong Ha"


Awalnya, saya nekat membeli DVD dengan judul Sungkyunkwan Scandal itu karena termakan strategi sang produser dengan mengikutsertakan si terkenal Yoochun sebagai pemeran utama dalam drama seri itu. Tapi setelah beberapa episode berlalu, saya justru terkesan dengan kehadiran karakter lain, si Yeorim Goo Yong Ha.

Awalnya, saya benar-benar 'ngeblank' cerita apa yang disajikan. Diperparah subtitle bahasa Indonesianya yang membuat saya makin 'ngeblank'. Akhirnya saya menemukan ide 'brilian'. Saya ganti dengan subtitle bahasa Inggris dan "TAARRRAAA!", akhirnya saya mengerti juga.

Latar waktunya dari zaman dulu Korea, Dinasti Joseon, tepatnya saat Raja Yeongjo berkuasa. Tempatnya berkisar di Universitas Sungkyunkwan, tempat aliran konfusianisme dipelajari bagi para mahasiswa calon pejabat ini. Ceritanya tak sesederhana yang saya kira. Banyak fakta sejarah di dalamnya, tentang persaingan di dunia politik masa itu, tepatnya perseteruan antara dua partai, Noron dan Soron, yang sebenarnya sama-sama pecahan dari Partai Seoin.

Dari dulu, yang namanya kekuasaan selalu jadi incaran manusia. Raja tak bisa percaya dengan para menterinya, takut kekuasaannya sewaktu-waktu digulingkan. Para menteri juga tak bisa saling mempercayai, sama-sama saling mengincar kekuasaan. Hierarki sosial yang tak berpihak pada rakyat terbentuk. Saat itu, partai Noron yang mendominasi kancah politik mendapat keuntungan-keuntungan dalam hidup, termasuk di lingkungan Sungkyunkwan. Hanya golongan bangsawan yang dapat mengenyam pendidikan di universitas ini. Kemudahan mendapat pendidikan juga diberikan bagi mereka yang punya uang, pilihannya dapat menyuap pengawas, atau membeli bocoran jawaban, atau menyewa pengganti. Rakyat biasa sulit, apalagi perempuan. Perempuan yang bisa mengembangkan bakatnya hanyalah gisaeng atau wanita penghibur. Bakat itupun bertujuan untuk menambah daya tarik gisaeng dalam 'melayani' para bangsawan ataupun kelas atas.

Nah, apa yang mau dibicarakan di drama ini adalah harmonisasi politik yang dianggap mustahil dengan menampilkan tiga karakter utama yang berbeda latar belakang, Lee Sun Joon dari Noron, Moon Jae Shin dari Soron, dan Kim Yoon Hee alias Kim Yoon Shik dari rakyat biasa yang juga seorang wanita. Selain itu, ada upaya pembentukan Joseon baru yang merupakan proyek dari Raja terdahulu dan ingin dilanjutkan Raja yang sekarang. Dengan kata lain, upaya terhadap pencapaian harapan yang sulit, karena Noron dengan sigap sekaligus diam-diam menentang upaya itu. Tapi yang namanya drama Korea, tetap, yang menonjol adalah tema percintaannya, antara Lee Sun Joon, Kim Yoon Hee, dan Moon Jae Shin.

Lupakan ketiga karakter di atas, yang ingin saya bicarakan di sini adalah karakter ke empat yang juga utama karena gambarnya menghiasi sampul depan. Namanya Goo Yong Ha. Ciri-cirinya: selalu memakai baju dengan warna mencolok dan membawa kipas, selalu terlihat ceria, selalu berada di kejauhan dan mengamati suatu peristiwa, dan yang terakhir, selalu berada di saat tepat nan darurat untuk menyelesaikan permasalahan. Pemberesan masalah yang cantik dan saat ditanya "Kenapa? Kok bisa?", ia menjawab "Cause I'm Goo Yong Ha". Saat dipercaya untuk menyelesaikan permasalahan, lagi-lagi alasannya membawa namanya, "Because you're Goo Yong Ha".

Meski begitu, ia bukanlah sosok yang dengan ajaib mampu menyelesaikan segala permasalahan. Kekhawatiran, kepanikan, dan strategi juga dihadapinya. Namun saat waktunya tiba, ia menghidupkan namanya dengan pengamatannya yang cerdik dan berpikir keras. Masalah yang dihadapinya pun teratasi diiringi dengan senyumannya seraya berkata "Cause I'm Goo Yong Ha"

Sunday 7 November 2010

"Tujuh"


Suatu hari di sebuah bus Jatinangor-DU, sang pengamen sedang asyik mendendangkan lagunya. Saya mengintip sejenak ke dalam bus lalu naik dan segera mencari tempat nyaman yang kosong. Sayang hanya tempat kosong yang tersisa. Dengan ketidaknyamanan karena harus melipat kaki, saya pun duduk. Di depan saya, sebuah keluarga sedang bercanda ria.

Begitu sang sopir bus masuk dan duduk di belakang kemudi, sang pengamen pun sadar diri. Ia berhenti bernyanyi, berpamitan dengan para penumpang, dan mengeluarkan bungkus permen yang sudah lusuh.

Anak kecil di depan saya pun bereaksi.

Anak Kecil: "Ma, duit, Ma!" (seraya menunjuk sang pengamen)
Ibu : (Memberikan sekeping lima ratus rupiah)"Ini berapa?"
Anak Kecil: "Tujuh"

Tawa pun saya tahan menjadi senyuman.

Tuesday 5 October 2010

Procrastinator's Murmuring


Seperti siput yang berjalan di batu, saya pun bergerak sangat lambat. Bahkan, memulai pun terasa berat. Kelapangan waktu itu melenakan saya, membuat mata saya cukup sering (selalu) berpaling kepada hal-hal lain.

Saya tersadar bahwa optimis dan meremehkan itu hal yang berbeda. Mungkin yang saya lakukan kemarin adalah hal yang kedua.

Waktu semakin mepet, saya masih tenggelam dalam kebodohan yang luar biasa. Orang biasa mungkin akan tersadar oleh mepetnya waktu itu. Tapi, tidak dengan saya. Jadi, saya ambil kesimpulan bahwa saya orang yang luar biasa. Entah luar biasa bodoh atau apa?

Saat waktu terus berjalan, habislah masa saya. Parahnya, pekerjaan yang menanti tak kunjung berkurang. Saya pun bungkam terhadap sekeliling. Tak ingin rasanya diingatkan akan pekerjaan itu dan saya masih dalam status hal yang kedua tadi, menganggap semuanya pasti akan baik-baik saja.

Tiba waktunya, saya tak mampu menyelesaikannya. Stres berat melanda. Seperti apa stresnya? Saya tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Yang jelas badan saya menggigil dibuatnya. Selama berjam-jam selama berhari-hari saya terkurung dan terpaku di depan layar laptop.

Tadinya kalau pekerjaan ini beres, saya mau sombong dengan mengatakan "I am a good procrastinator" tapi, yah, meskipun pada akhirnya beres juga (dengan penundaan berkali-kali), saya malah mengatakan "I'll never ever do procrastinate again. NEVER..!"

Catatan kaki: Saya sangat terpukul saat mencari gambar dengan keyword 'procrastinator'. Yang keluar gambar siput. Yaaaahhhh, mungkin begitulah saya.

Monday 9 August 2010

The Precious Thing


Saya masih ingat, waktu kecil, seseorang pernah berkata, "Nyamuk itu nakal, sukanya menghisap darah. Tapi coba kalau yang hisap darah itu gajah. Manusia pasti sudah punah. Allah itu Maha Adil, kan?!"

Decak kagum pun terlontar dari bibir saya. Dengan wajah sumringah gaya anak kecil, saya berkata, "Wah, iya, ya. Aku sayaaaannngg banget sama Allah."

Waktu bergulir, seseorang itu saat ini senantiasa mendendangkan di telinga saya, "Tuhan itu tak adil. Setiap rencana selalu tak dikehendakiNya, sementara orang lain bisa begitu mudah mendapatkan apa yang diinginkan."

Siapa yang sangka hatinya bisa berubah?

Saya juga masih ingat, seorang sahabat baik saya dulu, nafas Islami selalu terdengar dari mulutnya. Kami senantiasa bersama dalam gerak da'wah, mengkaji bersama, melewati waktu yang cukup lama untuk bisa merasakan keterikatan yang cukup mendalam.

Namun, kembali karena waktu yang terus berjalan, dia memutuskan berhenti berjalan di jalan yang lurus ini. Dia pun memilih kembali menelusuri kegelapan.

Tak ada yang menyangka hatinya bisa berubah.

Rasanya banyak hal yang ingin saya dapatkan untuk hidup di dunia yang kenyataannya sangat singkat ini. Tapi dari sedikitnya pengalaman yang saya punya, cukup memberikan saya pelajaran berharga tentang sesuatu yang paling berharga.

Ya, Allah tetapkan hatiku di mana aku hanya bergerak untuk menggapai ridhoMu.

Saturday 7 August 2010

Friday 6 August 2010

Maaf, tapi...

Hari itu, pikiran saya masih tak mampu menggapai kejadian yang itu. Semuanya terjadi begitu saja. Tertumpah dalam air mata, kekecewaan, dan makian. Bahkan dalam wujud lemparan yang saya sesali selanjutnya.

Keras kepala masih mendominasi hingga kini. Namun, saya masih ingat persis berkat keras kepala ini saya bisa 'hidup' sampai sekarang. Lalu kembali ke kejadian di hari itu, entah harus saya apakan telinga yang sudah terlanjur mendengarnya. Mulut pun seakan terbungkam hingga lontaran yang tadinya dengan lantang saya ucapkan jadi tersumbat. Spidol melayang dari tangan saya lalu yang selanjutnya bantal pun ikut terbang ke arahnya. Saya akhirnya pergi meninggalkan arena diiringi bantingan pintu keras-keras.

Benar, benar yang sudah orang itu katakan, bila kondisinya seperi itu. Tapi, saya ingin memilih jalan lain, jalan yang tentunya lebih baik. Kalau saya menganggap orang itu penuh kegagalan, saya mau memperbaikinya untuk masa depan saya. Berkaca dari pengalamannya, saya tak ingin melakukan hal yang sama, terjebak di situasi yang sama. Tapi apa ucapan ini terlalu perih? Keras kepala saya bilang tak apa mengungkapkan sebuah kebenaran walau itu perih. Keras kepala saya bilang tak apa agar orang itu tahu apa yang ada di pikiran saya selama ini.

Dia mengungkapkan hal-hal yang membuat saya berperan menjadi tokoh antagonis. Saya-lah yang telah menyakitinya. Saya-lah yang tak tahu terimakasih. Detik bahkan jam berlalu, tak ada satu kesimpulan pun yang dapat ditarik. Yang terakhir cuma menyisakan kesan 'saya marah' dan 'dia kecewa'.

Maaf,
saya tidak bisa dan tidak ingin menjadi seperti yang dia idam-idamkan. Tapi saya bukan anak durhaka.

Wednesday 14 July 2010

Kisah dari Palmerah


Dulu....

Sang ibu penuh kasih sayang. Sang ayah selalu penuh canda meskipun terkadang emosi tak bisa ditahannya. Dua anak kecil yang sering dibilang kembar, padahal kakak beradik, biasa bersepeda di luar atau sekadar bermain taplak. Sang kakak selalu berada di sebelah adiknya yang selalu dihiasi cengiran manis di wajahnya, bercanda tawa bersama. Sang nenek selalu memasak makanan enak dan yang pasti penuh gizi. Sang bibi yang hangat punya hobi mengajak dua anak kecil tadi jalan-jalan. Sang paman, meskipun cuek, tak pernah keberatan dua anak kecil itu bermain dengannya.



Sekarang....

Sang ibu disibukkan di toko dengan uang yang kadang seret kadang lancar. Sang ayah mengalihkan perhatiannya ke seperangkat elektronik yang dijajakannya. Sang nenek tetap memasak makanan bergizi namun keluhan selalu keluar dari mulutnya. Sang bibi pergi dari rumah, tinggal di tempat berbeda dan bergelimang gemerlap duniawi. Sang paman masih di situ, bersama anggota keluarga barunya, membangun keluarga yang menganut prinsip materi dengan tingkat kecuekan yang semakin tinggi. Sang adik yang dahulu di wajahnya dihiasi cengiran kini menjadi seringai super judes nan acuh, pikirannya pun terjun semakin dalam bersama 'si cowok' dan teman-temannya.

Sang kakak........................bingung sendiri di sini.

Wednesday 7 July 2010

Kemarin di Bus Jepang Itu


Baru kemarin kejadiannya. Di bus Jepang itu, saya tengah duduk dengan earphone terpasang di balik kerudung. Mata tertuju pada sosok di samping saya. Saya sadar sepanjang perjalanan mata saya tak lepas darinya.

Dia-lah seorang kenek wanita. Mungkin pekerjaan membuat sosoknya pun terlihat kuat nan kekar. Dengan suaranya yang lantang, ia meneriakkan 'Grogol, Grogol!' Ia pun naik-turun dan bergelantungan di pintu bus itu layaknya kenek pada umumnya.

Mungkin sebagian besar mengaitkan peristiwa itu dengan emansipasi, kebebasan, atau yang sejenisnya. Kalau saya melihatnya, saya tak peduli dengan teori emansipasi itu.
Tapi, kemarin, yang ada, di pikiran saya terus terngiang, 'Zaman edan yang membuat seorang wanita harus bekerja seperti itu'.

Pikiran saya ini yang mungkin sering dikatakan 'close minded' atau bahkan pikiran dari zaman purba. Tapi, toh, saya tak mau melepas pemikiran ini. Coba bayangkan ketika wanita masih diperlakukan mulia, selalu dilindungi kehormatannya. Mungkin tak akan pernah ada kejadian wanita berdiri di bus dari Cileunyi sampai Jakarta. Pastinya pemuda-pemuda memuliakan wanita dengan mempersilakannya duduk.

Seandainya zaman masih mulia, kenek wanita itu tentu akan berjuang di rumahnya untuk membesarkan anak yang kelak di masa depan akan berguna baginya juga agama. Tak perlu berhadapan dengan kerasnya kehidupan jalan, mengeluarkan tenaga yang ekstra untuk uang yang tak seberapa. Jadi terlintas, bagaimana nasib suami dan anak kenek wanita itu jika si ibu seharian sibuk berjuang di jalan? Atau, ia belum menikah? Lalu, bagaimana masa depannya? Apakah harus diisi dengan kesepian di hari tua?

Bukannya jadi egois, ya, kalau kita malah membiarkannya dengan kedok emansipasi? Kalau saya, sih, lebih memilih 'ubah zaman edan' ini dan kita sama-sama hidup mulia. Terserah kalau masih ada yang bilang saya orang purba.

Monday 14 June 2010

A Girl Who Will Become A Woman

This is the last day before I'm going to be twenty. I looked at myself and asked, "What have you done?". Then, I sighed and answered, "Ng-playing games, browsing, watching anime, reading manga, daydreaming, etc.". I laughed myself. I've done nothing.

Meanwhile, I've seen many people has been success since young. It's so contrast with me. I've never been serious for what I am doing.

Time is ticking. Whether I'm ready or not, change is the one that I must face. I know that I must move to another level. It's an effort for being a good human. A good human shouldn't waste time but using time wisely.

Thank God that I have lived till now. Please let me be a good human that always have You in the rest of my life. Please guide me to do the change.

From



A little girl

To



A woman

Saturday 22 May 2010

Explode


Makalah,
Film,
Makalah lagi,
Tugas beratus-ratus nomor,
Terjemahan,
dan makalah lagi.

Kalau kata teman saya, ibarat makanan yang dijejalkan terus-menerus ke mulut. Rasanya mau muntah menghadapi kata-kata di atas itu.

Lalu, saya kabur mencari ketenangan. Tapi ternyata, di tempat yang saya kira saya bisa tenang sungguh jauh di luar ketenangan. Mulut-mulut yang tidak pernah beres selalu mengiringi saya. Yang ini lah, itu lah. Padahal semuanya itu tidak beres. Abnormal bagi saya. Belum lagi muka tak peduli yang selalu menampakkan diri di depan saya. Kalau saya bisa memakunya agar bisa selalu melihat keadaan, pasti sudah saya lakukan dari dulu. Tapi karena tak bisa, kekesalan justru semakin bertumpuk. Saya pun menyerah pada ketidaktenangan.

Baru saya sadar, yang namanya tempat tenang itu TAK ADA.

Friday 23 April 2010

Namanya??


Berikut ini adalah percakapan yang terjadi di sela-sela jam mata kuliah tidak favorit saya. Ceritanya teman saya yang senantiasa menjual gorengan di kelas sedang melayani si teman saya yang senantiasa membeli gorengan. Menu gorengan hari itu adalah risol dan pisang goreng.

Si teman saya yang mau membeli gorengan berkata, "Mau risolnya, dong."

Si teman saya yang menjual gorengan memberikan risolnya.
Tapi, kemudian ia berkata, "Kalau yang saya jual ini, namanya karoket, bukan risol."

Di benak saya terlintas wajah nenek saya yang sering membuat yang mirip seperti itu. Lalu, di dalam hati saya berkata, "Itu mah lumpia kering."

Orang Sunda menyebutnya karoket. Orang Jakarta tidak mengenal karoket, tahunya risol. Saya yang di darah saya mengalir darah orang Cina-Semarang mengenali bentuknya yang mirip lumpia.

Jadi, pertanyaannya, apa nama makanan itu?

P.S.
Ternyata kata om Google, namanya lumpia.

Thursday 15 April 2010

Close-minded


I don't know why, but the 'close-minded' still annoys my ears till now. It has been two days since 'close-minded' came to my ear clearly. However, I can't release the effect of that phrase. Arrggghhh! Annoying!

Truthfully, I was a little bit hurt when she said that to me.

"What?! Close-minded?!", said me but just in my mind.

"Please, open your mind. Don't be too strict," she said.

Then, I told her that I am not a close-minded person. I just want to see any problem based on my ideology. Whatever I said, she ignored my reason. She even told me and warned me to be careful with my dangerous and strict mind. If God didn't give me patience, my anger would burst without realizing what I was doing there before.

Did she think that life was just on earth? Come on, she was the one who must open her mind.

Since that day, I've known that it's not easy, even so hard. What I am doing now isn't simple as I thought before. There are many people out there who still consider me as a close-minded person. I wonder how to fix this problem. One absolute answer is never giving up, right?

Wednesday 31 March 2010

Dead End


Tadi pagi di kala saya sedang malas-malasnya bangun dari lelapnya tidur, pikiran itu kembali mengganggu di pikiran saya. Hal yang pertama kali saya lakukan pagi ini adalah membuka laptop saya, dan melanjutkan pekerjaan saya yang itu. Ya, yang itu. Si penganggu tidur saya itu pun berhasil menyita perhatian saya pagi ini.

Si pekerjaan itu terpampang di layar laptop saya. Saya hanya memandanginya selama sekian detik. Lalu, saya taruh jari-jari saya di keyboard. Siap untuk mengetik. Tapi...

Berdetik-detik saya diam sampai akhirnya saya berkata, "Nggak tahu mau nulis apa?". Seandainya kejadian tadi pagi dikomikkan, mungkin akan ada efek-efek orang yang hanya terlihat kakinya dengan tulisan besar-besar 'GUBRAK!'

Buntu. Ditambah dengan suasana kamar berantakan saya yang tak mendukung. Akhir-akhir ini kertas-kertas mengganggu penglihatan dan ruang gerak saya. Tapi tetap tak kunjung saya rapikan.

Dengan pikiran buntu, saya paksakan mengetik apapun yang saat itu terlintas di benak saya. Waktu yang mepet terus menekan sampai akhirnya selesailah pekerjaan saya yang itu.

Tapi itu selesai, si penganggu di pikiran saya belum hilang. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Bagaimana ini itu? Diterima takut, ditolak sebal. Seperti itulah kiranya suara-suara yang terus berbunyi di alam bawah sadar tapi sadar saya. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa apapun hasilnya pasti itu yang terbaik untuk saya. Kesimpulan klise dan tetap saja hati saya tak tenang. Suara-suara itu masih terus berbunyi.

Wednesday 24 March 2010

Why?


Trapped in this miserable and confusing world, a big question mark appears in my mind. A question word always annoys my sight. It's "why?". Why do people say something meanwhile someone say the opposites? Why do people care about a small thing meanwhile the big problem are ignored? Why do people feel their life are alright meanwhile scare spreads out on other side of the same world?

For the sake of human, for the sake of woman, for the sake of labor, for the sake of children, etc, etc. Each man solves their problem with their own thinking. Clear? Not really. It just add some new problems.

Why don't they say for the sake of universe? The solution actually has written since long time ago. But most people deny it. They deny perfect solution?!

Why oh why?

Wednesday 17 March 2010

Boring


Jam delapan tepat. Aku buru-buru memasukkan buku-buku kuliahku ke dalam tas secara serampangan. Aku tenggak segelas air putih. Lalu, aku pun bangkit meninggalkan kamar kos berukuran 2x3. Tergesa-gesa, aku berlari menuju kampus yang jaraknya tak jauh dari tempatku tinggal selama merantau di kota orang.
Jam delapan lewat sepuluh, aku lirik jam di handphoneku. Di depan pintu kelas aku berdiri. Ternyata sang dosen belum datang. Aku menghela napas. Untung, ujarku dalam hati. Aku masuk dengan langkah santai, lelah setelah berlarian sepanjang jalan.
”Hai!” sapa teman akrabku.
”Hai!” jawabku. ”Udah lama?”
”Apanya?”
”Datangnya.”
”Oh,” ia mengangguk. ”Dari jam delapan kurang lima belas.”
Aku mengangguk. Dalam hati aku sadar tadi itu percakapan bodoh dan tak bermutu.
Belum lama aku duduk, sang dosen separuh baya datang. Dengan gaya santainya, ia menaruh tas di atas meja. Dua jam akan dipenuhi dengan ocehannya. Aku menyandarkan punggungku ke punggung kursi. Mataku hanya memandang sang dosen dalam hitungan detik. Selanjutnya, arah pandang berbelok 45° ke dinding putih kusam. Semut-semut berbaris rapi di sana. “HUBUNGI AKU DI 085XXX” dan “ASSHOLE” yang menodai sebagian besar permukaan dinding itu langsung menyita perhatianku selanjutnya. Orang bodoh kurang kerjaan pasti yang menulisnya. Aku memang kurang kerjaan tapi aku tidak bodoh. Jadi, aku tak akan mengikuti jejak mereka.
Suara sayup-sayup nyanyian merdu terdengar telingaku. Makin lama makin keras. Mataku terbelalak saat suara itu makin nyata terdengar.
”Dengar nggak? bisikku.
”Apa?” tanya temanku heran.
”Ada orang nyanyi.”
Temanku memicingkan matanya tanda ia berkosentrasi mendengarkan sesuatu. Beberapa detik kemudian, ia menggelengkan kepalanya.
Aku merasakan efek suara merdu yang membuat bulu kuduk merinding. Aneh temanku tak bisa mendengarnya. Kemudian suara itu menghilang bersamaan dengan saat giliranku menjawab pertanyaan dari sang dosen. Buru-buru aku melihat soal yang ada di kertas di hadapanku. Ku jawab dengan penuh keyakinan. Namun, apa daya dosen itu tak mendengarnya karena suara yang terlampau kecil. Sang dosen pun menjawab sendiri soal itu. Ah, sudahlah, pikirku. Aku pun kembali berkonsentrasi terhadap suara merdu yang baru saja hilang. Benar saja, suara itu pun terdengar lagi.
Aku bangkit berdiri setelah perdebatan sengit di dalam pikiranku antara diam saja atau menyelidikinya. Langkah kakiku bergerak dan mulutku mengucap izin pergi ke WC. Aku keluar dari kelas.
Mataku menyalang mengamati keadaan sekitar. Lorong gelap yang sepi. Tak lazim karena biasanya ramai dengan anak-anak yang menunggu kuliah selanjutnya. Aku dengarkan suara yang kini sayup itu. Sepertinya berasal dari ruang kelas pojok. Perlahan, aku dekati ruang itu. Dengan jantung yang berdegup, aku mengintip ke dalamnya. Pemandangan di dalamnya membuatku merinding.
Seorang wanita berambut panjang berdiri menghadap ke jendela. Gaunnya merah panjang. Rambutnya pirang. Sosoknya persis seperti wanita bangsawan di zaman Victoria. Dari bibirnya, teruntai alunan nada merdu. Melihatnya membuatku membeku di depan kelas. Hantu, pikirku.
Wanita itu berhenti bernyanyi. Ia melirik ke arahku. Ia menghampiriku. Aku menelan ludah.
”You found me,” ucapnya.
Aku bermaksud menanyakan siapa dia tapi tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku.
”You’ve heard that. Then, sing that lullaby to my daughter,” pintanya. “I can’t found her.”
Setelah mengatakan itu, ia pergi meninggalkan ruangan. Aku mengikutinya sampai ia menghilang di ujung lorong. Tinggal aku berdiri di ruang kelas. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Langkah lunglai membawaku kembali ke kelas. Aku kembali duduk dan memandang kertas soal yang sedang dibahas.
”Eh!” panggil temanku. ”Mau kue?”
Ia menyodorkan tempat makannya padaku.
Dengan wajah sumringah aku mengambil sepotong kue seraya mengucapkan terimakasih. Sembunyi-sembunyi dari sang dosen, aku gigit kue itu. Sampai tinggal gigitan terakhir aku sadar akan satu hal.
”Kismis?!” protesku.
Temanku mengangguk.
Kutunjukkan wajah jijik padanya.
”Nggak suka,ya?”
”Banget,” ujarku sambil memberikan segigit terakhir kue darinya.
”Payah,” ejeknya.
Hiburan yang gagal, pikirku. Aku memandang ke arah pintu. Lewat seorang gadis kecil bergaun panjang, berambut pirang, dan membawa boneka. Kata-kata “Then, sing that lullaby to my daughter” terngiang di telingaku. Mungkinkah itu anaknya?
Kali ini, tak ada perdebatan sengit. Aku tetap duduk diam di kursiku. Siapa mereka aku tidak tahu. Lagipula, aku tidak hafal lagu tadi. Aku berusaha memfokuskan pikiranku ke kelas yang kuikuti sekarang.
Namun, tiba-tiba hawa aneh menghembus leherku. Belum sempat aku menoleh, tangan kecil nan putih menjulur lalu memegang tubuhku dari belakang. Kepala seorang gadis kecil bersandar di bahuku. Bibirnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku berujar, ”Sing it!”.
Aku membeku. Mataku mengelilingi ruang kelas. Tak ada yang sadar. Sang dosen masih terus berceloteh. Teman di sebelahku masih tetap memandang penuh perhatian kepadanya. Panik, aku berusaha mengingat nada yang tadi dinyanyikan ibunya. Dengan suara tak indahku, aku menyanyikannya. Kuakui ada beberapa nada yang aku karang. Namun, gadis kecil itu tampak puas. Ia mengendurkan pegangannya dari tubuhku. Tak lama ia pun melepasnya. Saat aku menengok ke belakang, gadis itu sudah menghilang.
Kelegaan serasa meledak dari dadaku. Belum lama rasa itu bertengger di dadaku, dua makhluk itu lewat di depan pintu ruang kelasku. Saling bergandengan dengan pandangan lurus ke depan. Tak melirik sama sekali ke tempatku duduk, apalagi mengucapkan terimakasih. Hanya sekilas mereka lewat tapi mataku tak kunjung lepas dari titik itu.
Ya, bagus, gumamku dalam hati. Senyum puas menghiasi wajahku. Kembali suara sang dosen memasuki telingaku. Kembali semut-semut yang berbaris rapi, juga kata-kata kotor di dinding menghiasi penglihatanku. Aku telah kembali dari imajinasi panjangku. Kebosanan pun kembali melanda.
Selanjutnya, apa lagi, ya? tanyaku dalam hati.

Thursday 4 March 2010

Tadi


Sang fajar belum juga menyingsing,
orang-orang itu berceloteh
Untaian waktu mundur ku telusuri
Layar segi empat,
orang-orang itu berceloteh

Menafikkan segala kebenaran
Seringai keji menyayat kalbu
Setetes air mata pun meluncur turun
di saat mestinya luapan emosi ditahan

Tapi,
orang-orang itu masih berceloteh.

Sunday 28 February 2010

Pemujaan Zaman Modern


Seiring dengan adanya internet yang mengalir non-stop selama 24 jam ke laptop, tak bisa dipungkiri kalau kebanyakan waktu yang saya habiskan adalah untuk surfing internet. Kebiasaan buruk memang. Seharusnya masih banyak yang bisa saya lakukan. Tapi kalau dilihat dari sisi lain -seperti yang selalu dosen saya katakan 'selalu lihat sesuatu dari banyak sisi'- saya jadi bisa mengambil banyak hal dari yang namanya dunia maya ini.

Ada hal yang belakangan ini menarik perhatian saya, bahkan selalu muncul di benak saya. Berawal dari virus yang disebarkan teman satu kost, saya jadi punya keyword favorit dalam menjelajahi dunia maya.

KOREA...
Virus ampuh yang mampu mematikan semangat dan gerak dalam aktivitas berguna. Mengkaji ilmu ditinggalkan, menyeru kepada yang benar juga turut ditelantarkan.

Yaah begitulah akhirnya saya terjebak di depan laptop, membuka hal-hal yang berbau korea. Dari perjalanan semu ke Korea inilah, ternyata mata saya dibuat terbuka akan satu hal.

Jika gharizah nau dikedepankan tanpa adanya aturan yang mengikatnya, fatal ternyata akibatnya. Saya menelaah berbagai artikel-artikel para Cassiopeia, Triple S, E.L.F, Primadonna, (nah, nama apa nih?) dan lain-lain. Begitu fanatiknya mereka mengidolakan manusia. Memang saya juga turut terpukau dengan vokal mulus, dance keren, dan apalagi wajah ganteng nan cantik mereka. Tapi semakin menjelajah saya semakin ilfeel. Alhamdulillah saya tidak sampai terperangkap dalam gharizah nau sedemikian parahnya seperti mereka.

Kisah yang baru saya dapat hari ini adalah kisah tentang seorang gitaris dan pianis dari salah satu grup band Korea yang tengah naik daun. Saya menemukan video ketika ia mengikuti sebuah reality show yang mengharuskan ia berkencan dengan seorang perempuan biasa-bukan artis maksudnya. Walhasil, setelah ditelusuri, sehabis penayangan reality show ini, ratusan atau ribuan ancaman melalui internet membanjiri pihak penyelenggara reality show tersebut juga artisnya sendiri. Yang langsung muncul di benak saya saat mengetahuinya adalah 'apakah perempuan biasa itu masih dalam keadaan sehat sekarang?'.

Kisah lain lagi ketika saya melihat video wawancara sebuah boyband Korea yang juga sudah terkenal di Jepang. Saat itu mereka ditanya tentang pengalaman buruk mereka terhadap fans. Pernah seorang gadis menelepon salah seorang personilnya dan mengaku kalau ia adalah adik perempuannya. Personil itu tidak curiga karena gadis itu benar-benar tahu segala hal tentang ia dan keluarganya (saya merinding waktu si artis itu mengatakannya). Sampai kemudian ada sesuatu hal yang membuatnya sadar kalau gadis itu bukan adiknya. Begitu ditanya sang penelepon misterius itu langsung menutup telepon.

Terakhir, kisah dari boyband yang sama. Mereka mengutarakan nasib naas mereka yang harus berpindah-pindah apartemen. Penyebabnya, tak lain tak bukan karena ulah fans mereka yang terlalu ribut. Keributan yang begitu menggila sampai para tetangga akhirnya mengusir artis ini. Dan kejadian ini terus terjadi di setiap apartemen yang mereka coba untuk tinggali.

Ngeri rasanya melihat fans-fans fanatik ini. Apa mereka hanya akan memberikan hidup mereka cuma demi mengagumi artis-artis itu? Lalu, tujuan hidup mereka bagaimana? Banyak juga kasus yang terjadi karena kecemburuan buta para fans, perempuan yang digosipkan dekat dengan si artis bisa terancam nyawanya. Sedemikian besarnya dampak pemujaan mereka sampai bisa terdorong untuk melakukan tindakan anarkis yang bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan secara universal, apalagi nilai yang benar sebenar-benarnya yang datang dari Sang Pencipta.

Secara logika, hubungan mereka bukan simbiosis mutualisme. Artis jelas butuh fans, mereka bisa dapat uang dari situ. Semakin banyak fans, semakin besar juga bayaran mereka. Tapi kalau fans apa benar butuh artis? Mereka tentunya tidak dapat uang dari sana, malah harus mengeluarkan uang untuk barang-barang yang berhubungan dengan si artis. Mereka juga tetap hidup, kan, kalau seandainya tidak ada artis.

Lantas, kenapa keadaan berbalik jadi seolah-olah fans yang butuh kehadiran artis? Kenapa juga artis merasa kehadiran fans mengganggu mereka? Saya jamin, sebutuh-butuhnya mereka terhadap fans, pasti terbersit keinginan di hati para artis untuk melenyapkan para fans dari kehidupan mereka.

Aneh,kan? Kenyataan yang terbalik dari logika.

Menilik posting saya kali ini, kok, seperti terlalu subjektif. Meskipun kata dosen saya memang tidak ada tulisan yang objektif, tapi kata-kata yang saya gunakan seperti memihak pada artisnya. Seperti itukah? Tidak juga. Saya yakin artis-artis ini akan diminta pertanggungjawabannya kelak sebagai makhluk yang menjadi berhala di zaman modern.

Bagi diri saya yang sedang dalam masa penyembuhan dari keracunan virus Korea, sudah saatnya membuka mata. Di kehidupan nanti tentu saya tak mau dipanggil oleh para artis itu karena ternyata saya termasuk penyembah dan pengikut mereka. Saya juga tak mau ditolak oleh kekasih Allah karena ternyata saya lebih mengidolakan wajah-wajah ganteng artis Korea dibanding mengikuti hal-hal yang dicontohkan Nabi.

Ahh, membayangkannya saja sudah membuat tubuh ini merinding!

Wednesday 10 February 2010

Better Than Yesterday


"I.......I want to get stronger than I was yesterday, than I was half a day ago, than I was a minute ago."

This quote is from a famous anime series, 'Naruto', and from an infamous character, Rock Lee. Bad-looking. Unable to use ninjutsu and, of course, genjutsu. A shinobi who lose in battle frequently. He's not my favourite character, but he often said something that could make me said, 'Wahhh!', such as the one in above.

Looking at what I am doing, this quote really has connection with me. Lee is the one who never gives up in finding power. He was said that he couldn't be a shinobi because he couldn't use ninjutsu and genjutsu. However, he tries to deny it by practicing a lot in taijutsu. Talent isn't needed. Just by spirit and practice, he could make the people called him a shinobi. Not so powerful, but he deserved to be praised.

So, the relation is...

Lee can do it. So, I can do it. More than that, my goal is bigger, my reason is God, not just human praising or strong body. As the result, my spirit must be bigger than Lee's. I will say that I want to be a better one than I was a second ago.

Tuesday 2 February 2010

Finding Me Smile and Knowing Why


The day came when most of the people would say 'huff!'. On the other hand, I could feel my heart's beat not because I was nervous. Meanwhile, I couldn't hide my excitement from the coming of this day. First reason was my loneliness. During this holiday, I just stayed in my 3x6 room. Alone (not really because one of my friend still stayed too). Just eating food from the man who always stood outside the house two times a day and shouted 'Hipotesa'. I couldn't explain how I can bear it. Second, I had waited time that there were people who listened to my statement of religion, Moslems, God, khilafah. What I saw was not the crowded of people but piles of gold. Very nice treasure! Big excitement filled my mind.

Then, this morning, increasing of my happiness occurred. My hand phone vibrated. Its display showed that there was message. I read it and surprised that the message was from my lecture. What he said made me arrived at the climax of excitement. He said I possibly could get A if I came to campus tomorrow. I must do some retest but the possibility for getting a better mark is high.

I came home (3x6 room), figured out how much could I get if that subject was fixed. Then, some numbers appeared . Beautiful! So relieving! My dream would become reality. Target could be reached. If I imagine that, smile show up on my face.

Many thanks to Almighty God.

Thursday 28 January 2010

A Piece of My Destiny


September, tujuh belas tahun yang lalu, langit masih gelap ketika seorang wanita bangun dari tidurnya. Ia duduk sebentar sambil memandang suaminya yang masih mendengkur pelan. Diguncang-guncangkannya tubuh lelaki itu. Dalam hitungan detik, sang suami sudah membuka matanya sambil bergumam tak jelas. Perlahan, ia bangun dari posisi tidurnya. Kemudian, ia berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Sementara, wanita tadi keluar dari kamar dan membuka pintu kamar sebelahnya. Dua gadis kecil identik tertidur pulas di ranjang. Dibenarkannya letak selimut dan diciumnya kening kedua gadis itu.
Ia tersenyum. Mereka-lah harta satu-satunya. Karena sesungguhnya, rumah pun ia tak punya, masih menumpang di rumah majikan. Apalagi untuk harta benda lain. Tak mampu ia membelinya. Namun, setidaknya ia punya harta yang terbesar dalam hidup, keluarga. Hidup harmonis bersama suami dan anak-anaknya.
Sekali lagi, diciumnya kening kedua gadis kecil yang tertidur nyenyak. Lalu, ia beranjak keluar kamar dan pergi ke dapur. Mulailah ia melaksanakan tugasnya, membuat sarapan untuk majikannya.
Begitu terdengar adzan subuh yang dikumandangkan dari masjid yang berjarak lima puluh meter dari rumah itu, ia hentikan pekerjaannya. Kemudian, ia mengambil wudhu. Dilihatnya, suaminya telah bersiap menuju masjid.
Selesai melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan, kini, giliran kewajibannya terhadap majikan yang harus ia tunaikan. Matahari telah menunjukkan sinarnya ketika suaminya menemuinya di dapur, tentu saja sudah berganti pakaian dengan pakaian berkebunnya.
”Lihat gunting rumput?” tanyanya.
Matanya menjelajahi seluruh sudut ruangan dapur besar itu.
Istrinya menggeleng, ”Makanya kalau taruh sesuatu, jangan di sembarang tempat!”
Lelaki itu mengaruk-garuk kepalanya. Ia berjongkok untuk memeriksa untuk memeriksa lemari dapur, mencoba mencari gunting rumputnya yang raib.
”Coba cari di gudang!” usul istrinya.
“Itu tempat pertama yang aku cari.”
Dengan bingung, ia keluar dapur. Ia mencoba mengerjakan pekerjaan lain yang tanpa menggunakan gunting rumput. Maka, ia mengambil sapu lidi dari gudang dan mulai membersihkan halaman yang luas itu dari daun-daun kering yang berguguran. Tak ada sampah selain daun-daun kering. Rupanya, penghuni rumah ini sangat mengamalkan kalimat sederhana ’buanglah sampah pada tempatnya’.
Suara sapu yang bergesekan dengan tanah serta suara spatula yang beradu dengan penggorengan meramaikan suasana pagi. Para tetangga pun juga sudah mulai bergelut dengan kesibukannya masing-masing.
Si tukang kebun masih sibuk dengan sapu dan daun kering ketika istrinya memanggil untuk sarapan. Ia menyandarkan sapunya pada sebatang pohon. Dinyalakannya keran air yang berada di antara tanaman mawar. Tertangkap oleh matanya gunting rumput yang sedari tadi dicarinya tergeletak di sela-sela jejeran mawar. Ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Dibiarkannya gunting rumput tergeletak di situ sebab nanti ia masih akan merapikan mawar.
Di dapur, dua gadis kecilnya tengah menggigit sepotong roti mentega. Dipeluknya kedua gadis kembar itu dan digendongnya tinggi-tinggi salah satu dari si kembar. Terciptalah panorama indah tentang arti sebuah keluarga.
Ketika siang tiba, mereka kembali disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Si tukang kebun kini sibuk dengan gunting umput dan mawar-mawarnya. Istrinya sibuk mengelap koleksi keramik majikannya yang sebenarnya sudah sangat licin. Sementara anak-anaknya, meskipun masih kecil, mereka tetap punya pekerjaan.
Menemani putri semata wayang si tuan rumah bermain. Itu pekerjaan mereka. Mungkin terdengar mudah dan menyenangkan. Namun, tidak semudah itu jika tahu sifat tuan putri.
”Main bola, yuk!” ajaknya.
Kedua kembar itu mengangguk. Mulailah ketiga anak itu bermain lempar-lemparan bola dengan asyiknya.
Tapi rupanya keasyikan itu tidak berlangsung lama. Sekali sang tuan putri tidak dapat menangkap bola, wajahnya mulai ditekuk. Kedua kali bola itu tak mau mendarat si tangannya, ia malah melempar kembali bolanya dengan penuh amarah sampai si gadis kecil terjatuh. Kembarannya mengambil bola itu dan melemparnya dengan keras ke arah sang tuan putri.
Air mata mulai menetes dan tangis pun meledak dari mulut mungil sang tuan putri. Si pelayan, juga ibu dari si kembar, buru-buru datang menghampiri anak yang menangis itu.
”Kenapa?” tanyanya penuh perhatian.
”Itu,” tangannya menunjuk anak yang tadi melemparinya dengan bola. ”Dia lempar bola keras banget sampai aku jatuh.”
Mendengar pernyataan tersebut, si gadis kembar itu langsung mengelak, ”Tadi dia duluan yang lempar bola ke kakak.”
”Sudah, sudah, jangan berantem!” tegur si pelayan. “Main boneka saja, ya, di dalam.”
“Nggak mau,” ucap salah satu dari si kembar. ”Aku mau main sama kakak saja.”
”Main itu mesti sama-sama. Jangan berantem terus!”
”Habis, kalau main boneka, selalu jadi jahat. Dia terus yang jadi putrinya.”
Tuan putri menjulurkan lidahnya, mengejek. Kedua gadis kembar itu menunjukkan raut muka marah.
Si pelayan menarik napas panjang. Tiba-tiba, suatu ide untuk mendamaikan anak-anak itu terlintas di benaknya.
“Kalian ikut buat kue di dapur, mau?”
Serentak anak-anak itu menjawab, ”Mau.”
“Kue apa?” tanya sang tuan putri.
”Mau kue cokelat apa kue keju?” Si pelayan menanyainya kembali.
”Cokelat,” jawab anak-anak.
Mereka masuk ke rumah diiringi dengan senyuman puas di wajah pelayan.
Beranjak ke hari Minggu yang cerah, sinar matahari menyambut ceria dari arah Timur. Biasanya anak-anak kecil telah bangun dari tidur dan duduk di depan televisi, menonton film kartun yang memang banyak ditayangkan di hari Minggu. Begitu juga dengan sang tuan putri yang sudah sejak pagi tadi matanya tak lepas dari layar televisi.
Salah satu dari si kembar masuk ke ruang keluarga dan duduk di sebelah tuan putri. Beberapa menit lagi, acara kesukaannya segera dimulai.
”Nanti main Cinderella-Cinderella-an, yuk,” ajak tuan putri.
Ajakannya ditanggapi dengan anggukan kepala gadis itu.
”Yang jadi Cinderellanya aku soalnya yang jadi Cinderella mesti cantik. Aku yang cantik di sini.”
”Tapi, kata mama, aku juga cantik.”
Tuan putri bangkit berdiri, ”Aku yang cantik,” ucapnya keras.
”Aku,” kata gadis kembar itu sambil berdiri.
”Kalau aku bilang ’aku cantik’, ya aku cantik.”
”Mana bisa begitu.”
Didorongnya tubuh si gadis kembar sampai menubruk rak buku. Rak itu bergoyang. Guci di atasnya terjatuh dan mengenai kepala gadis kembar. Ia terjatuh tak sadarkan diri. Kemudian rak buku itu semakin bergoyang dan akhirnya menimpa tubuh gadis itu. Buku-buku berat dan rak kayu membuatnya yang menimpa tubuh mungil itu membuat nyawanya melayang. Darah meluber menodai karpet putih di ruang keluarga.
Sang tuan putri terdiam di tempatnya. Kemudian, ibunya masuk mendengar keributan itu. Raut wajahnya benar-benar terkejut melihat pemandangan di ruang keluarga itu. Ia memeluk anaknya yang masih berdiri diam. Beberapa lama kemudian, si pelayan masuk. Selama sepuluh detik ia terdiam mencerna suasana itu dalam pikirannya. Setelah tersadar, ia menangis sejadi-jadinya. Putus asa, ia berusaha mengangkat rak berat itu dari tubuh putrinya. Sementara sosok mungil lainnya berdiri di ambang pintu. Matanya berair. Tak ada yang memperhatikan dari tadi kembarannya berdiri di situ.

Tuesday 26 January 2010

Kembali dari Rumah Kembali ke Rumah


Huff! Keluhan sempat keluar saat aku membaca sebuah pesan di layar handphone. Panggilan. Sebuah kota kecil yang menjadi saksi atas peristiwa penting dalam hidupku kembali memanggil. Padahal, aku baru saja menginjakkan kaki di tempat kelahiran.

Sempat terlintas di benakku alasan untuk tidak kembali. Tapi kemudian aku teringat peristiwa beberapa minggu yang lalu. Fatal akibatnya kalau kembali mengulangnya. Hanya keledai, kan, yang jatuh di lubang yang sama?

Dengan semangat yang dipaksakan, aku kembali. Sedih rasanya saat berjalan memunggungi rumah kecil nan ramai namun tak hangat yang menjadi kediamanku sejak aku lahir. Satu pikiran yang nyata kebenarannya terlintas di benakku, rumah ini bukan lah kediamanku lagi.

Sepanjang perjalanan kembali ke kota kecilku, bayangan rumah terus menghantui. Terngiang juga omelan nenekku yang baik hati. Mungkin bukan omelan tapi rasa kangennya yang meluncur dari mulutnya dengan kata-kata yang judes. Kata nenek, aku buang-buang uang dengan bolak-balik seperti ini. Cengiran aneh yang aku tujukan ke nenekku membuatnya makin cemberut. Yah, mau bagaimana lagi?

Cukup sudah aku membayangkan rumah yang sudah kutinggalkan. Aku beranjak dalam pikiranku mendatangi rumah satu lagi dimana bis yang aku naiki membawaku kesana. Kecepatan stabil. Tak sampai dua jam aku akan berada kembali ke rumahku.

Aku bayangkan wajah-wajah rekan seperjuanganku. Lalu, kegiatan yang menjadi alasan ku kembali ke kota kecil itu. Semangat! Inilah alasan yang harus kutanam baik-baik di hati. Tak ada tempat senyaman rumahku yang satu ini. Berbagai kegiatan, sekumpulan cerita, sekelompok insan, masjid atas bukit. Ya, ini alasan kenapa aku mencintai rumah yang satu ini. Di sini semuanya berharap kebahagiaan di hari nanti. Yang abadi tentunya lebih menggiurkan dari yang fana. Di sinilah rumahku.

Tuesday 12 January 2010

Alone in the Crowd


Lagi, penolakan lagi.
Rasanya sakit. Tahukah mereka?
Yang aku katakan benar, bukan?

Sepertinya mereka selalu menutup telinga.
Kurang cukupkah peringatan-peringatan yang diberikanNya?
Apa sih yang dipikirkan? Tak habis pikir kalau ada saja alasan untuk menolak apa yang dilarangNya? Tapi, di sisi lain, bisa merasa hidup suci.

Ck ck ck.

Lalu, saat mereka membalikkan badan,
aku merasa kita sudah berbeda.
Aku bukan teman mereka lagi.

Tapi,
aku merasakan begitu sakitnya kehilangan.
Perih saat memandang punggung-punggung itu.
Dingin saat berhadapan dengan wajah tak peduli itu.

Aku baru sadar kalau aku tengah berdiri sendiri di keramaian.

Saturday 9 January 2010

Di Waktu yang Mepet Ini


Di waktu yang mepet ini aku cuma ingin berbagi.
Di waktu yang mepet ini aku cuma ingin bercerita.

Ketika ku bangun hari ini,
aku rasa satu dosa telah bertambah.
Bukan..
Dua dosa,
tiga,
atau empat.

Di waktu yang mepet ini aku cuma ingin mengeluh.

Bodoh!
Tak ada yang aku lakukan lagi.

Di waktu yang mepet ini aku cuma ingin menyesali.

Kesia-siaan.

Sunday 3 January 2010

Hidup yang Sulit Dimengerti


Aku benar-benar baru tersadar kalau segala nilai yang ada di hidup ini sungguh saling berbenturan. Batasan baik dan buruk benar-benar buram. Apa hanya membunuh, merampok, dan berbohong yang bisa dikatakan jahat? Lalu, bagaimana dengan kegiatan lain yang menurutku sebenarnya merugikan tapi tak ada hukum yang mengatakan salah. Sebaliknya, pada kenyataannya, ada saja suatu kejadian yang membuat kita harus mengatakan kalau berbohong itu baik, bahkan membunuh itu baik.

Benar-benar tak bisa dimengerti.

Aku punya sebuah cerita. Tentang seorang gadis yang bingung menjalani hidup.
Di satu sisi ia sangat ingin mengejar kebahagiaan di akhirat. Pandangan matanya selalu terarah ke birunya langit seolah-olah ia benar-benar bisa melihat surga yang tersembunyi di balik tirai biru itu. Namun, di sisi lain, ia masih sering mengais-ngais tanah. Ia masih ingin mencari harta karun nan gemerlap yang ada di balik rendah dan kotornya tanah. Lalu, saat ia mendongak ke atas kembali memandang langit, wajahnya ternoda tanah yang coklat. Ia memang tak pernah masuk ke dalam kegelapan bawah tanah, tapi ia menjadi sangat terhina untuk memandang ke atas. Lalu, kemana ia harus tinggal? Ia tak mungkin bisa berada di atas karena kehinaannya, sementara ia tak mau menetap di bawah karena selalu merindukan langit.

Sekarang ini, orang yang jelas-jelas berada di dalam tanah ataupun langit sama-sama mendapatkan pujian. Orang yang berada di atas akan dibalas segala pengorbanannya di bumi. Mungkin tinggal nanti yang di dalam tanah mendapat kesusahan saat malaikat Israfil meniupkan sangkakalanya. Tapi, tetap dia memperoleh kebahagiaan yang luar biasa. Orang-orang bisa sangat memujanya di dunia.

Kalau begitu satu sama.

Tapi, bagaimana dengan gadis itu?
Aku tak yakin ia akan dapat kebahagiaan setelah meninggalkan kehidupan dunia. Mirisnya, ia juga pasti tak dapat kebahagian di saat mengais-ngais tanah karena ia tak pernah mendapatkan harta karunnya. Ia hanya melihat gemerlapnya saja dan silau akannya sebelum akhirnya suatu waktu kembali mengingat surga di atas langit.

Hidup itu sulit bukan?!
Bagaimana bisa orang-orang terhina yang terpuruk di bawah tanah mendapatkan apresiasi yang luar biasa besarnya? Sementara seorang gadis yang hanya tercoreng mukanya oleh tanah menjadi sosok yang begitu merugi? Keberadaannya adalah kesia-siaan.

Bisa saja gadis itu mencari air untuk menghapus tanah di wajahnya. Dengan begitu, ia bisa memandang langit tanpa malu akan noda duniawi di wajahnya.

Ah, ya. Benar seperti itu. Masalah beres. Ia bisa bahagia nantinya.

Tapi,
gadis itu kembali mengais tanah lagi.
Ia masih rindu melihat gemerlap harta di bawah tanah.