Hari itu, pikiran saya masih tak mampu menggapai kejadian yang itu. Semuanya terjadi begitu saja. Tertumpah dalam air mata, kekecewaan, dan makian. Bahkan dalam wujud lemparan yang saya sesali selanjutnya.
Keras kepala masih mendominasi hingga kini. Namun, saya masih ingat persis berkat keras kepala ini saya bisa 'hidup' sampai sekarang. Lalu kembali ke kejadian di hari itu, entah harus saya apakan telinga yang sudah terlanjur mendengarnya. Mulut pun seakan terbungkam hingga lontaran yang tadinya dengan lantang saya ucapkan jadi tersumbat. Spidol melayang dari tangan saya lalu yang selanjutnya bantal pun ikut terbang ke arahnya. Saya akhirnya pergi meninggalkan arena diiringi bantingan pintu keras-keras.
Benar, benar yang sudah orang itu katakan, bila kondisinya seperi itu. Tapi, saya ingin memilih jalan lain, jalan yang tentunya lebih baik. Kalau saya menganggap orang itu penuh kegagalan, saya mau memperbaikinya untuk masa depan saya. Berkaca dari pengalamannya, saya tak ingin melakukan hal yang sama, terjebak di situasi yang sama. Tapi apa ucapan ini terlalu perih? Keras kepala saya bilang tak apa mengungkapkan sebuah kebenaran walau itu perih. Keras kepala saya bilang tak apa agar orang itu tahu apa yang ada di pikiran saya selama ini.
Dia mengungkapkan hal-hal yang membuat saya berperan menjadi tokoh antagonis. Saya-lah yang telah menyakitinya. Saya-lah yang tak tahu terimakasih. Detik bahkan jam berlalu, tak ada satu kesimpulan pun yang dapat ditarik. Yang terakhir cuma menyisakan kesan 'saya marah' dan 'dia kecewa'.
Maaf,
saya tidak bisa dan tidak ingin menjadi seperti yang dia idam-idamkan. Tapi saya bukan anak durhaka.
Friday, 6 August 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment