Thursday 28 January 2010

A Piece of My Destiny


September, tujuh belas tahun yang lalu, langit masih gelap ketika seorang wanita bangun dari tidurnya. Ia duduk sebentar sambil memandang suaminya yang masih mendengkur pelan. Diguncang-guncangkannya tubuh lelaki itu. Dalam hitungan detik, sang suami sudah membuka matanya sambil bergumam tak jelas. Perlahan, ia bangun dari posisi tidurnya. Kemudian, ia berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Sementara, wanita tadi keluar dari kamar dan membuka pintu kamar sebelahnya. Dua gadis kecil identik tertidur pulas di ranjang. Dibenarkannya letak selimut dan diciumnya kening kedua gadis itu.
Ia tersenyum. Mereka-lah harta satu-satunya. Karena sesungguhnya, rumah pun ia tak punya, masih menumpang di rumah majikan. Apalagi untuk harta benda lain. Tak mampu ia membelinya. Namun, setidaknya ia punya harta yang terbesar dalam hidup, keluarga. Hidup harmonis bersama suami dan anak-anaknya.
Sekali lagi, diciumnya kening kedua gadis kecil yang tertidur nyenyak. Lalu, ia beranjak keluar kamar dan pergi ke dapur. Mulailah ia melaksanakan tugasnya, membuat sarapan untuk majikannya.
Begitu terdengar adzan subuh yang dikumandangkan dari masjid yang berjarak lima puluh meter dari rumah itu, ia hentikan pekerjaannya. Kemudian, ia mengambil wudhu. Dilihatnya, suaminya telah bersiap menuju masjid.
Selesai melaksanakan kewajibannya terhadap Tuhan, kini, giliran kewajibannya terhadap majikan yang harus ia tunaikan. Matahari telah menunjukkan sinarnya ketika suaminya menemuinya di dapur, tentu saja sudah berganti pakaian dengan pakaian berkebunnya.
”Lihat gunting rumput?” tanyanya.
Matanya menjelajahi seluruh sudut ruangan dapur besar itu.
Istrinya menggeleng, ”Makanya kalau taruh sesuatu, jangan di sembarang tempat!”
Lelaki itu mengaruk-garuk kepalanya. Ia berjongkok untuk memeriksa untuk memeriksa lemari dapur, mencoba mencari gunting rumputnya yang raib.
”Coba cari di gudang!” usul istrinya.
“Itu tempat pertama yang aku cari.”
Dengan bingung, ia keluar dapur. Ia mencoba mengerjakan pekerjaan lain yang tanpa menggunakan gunting rumput. Maka, ia mengambil sapu lidi dari gudang dan mulai membersihkan halaman yang luas itu dari daun-daun kering yang berguguran. Tak ada sampah selain daun-daun kering. Rupanya, penghuni rumah ini sangat mengamalkan kalimat sederhana ’buanglah sampah pada tempatnya’.
Suara sapu yang bergesekan dengan tanah serta suara spatula yang beradu dengan penggorengan meramaikan suasana pagi. Para tetangga pun juga sudah mulai bergelut dengan kesibukannya masing-masing.
Si tukang kebun masih sibuk dengan sapu dan daun kering ketika istrinya memanggil untuk sarapan. Ia menyandarkan sapunya pada sebatang pohon. Dinyalakannya keran air yang berada di antara tanaman mawar. Tertangkap oleh matanya gunting rumput yang sedari tadi dicarinya tergeletak di sela-sela jejeran mawar. Ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Dibiarkannya gunting rumput tergeletak di situ sebab nanti ia masih akan merapikan mawar.
Di dapur, dua gadis kecilnya tengah menggigit sepotong roti mentega. Dipeluknya kedua gadis kembar itu dan digendongnya tinggi-tinggi salah satu dari si kembar. Terciptalah panorama indah tentang arti sebuah keluarga.
Ketika siang tiba, mereka kembali disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Si tukang kebun kini sibuk dengan gunting umput dan mawar-mawarnya. Istrinya sibuk mengelap koleksi keramik majikannya yang sebenarnya sudah sangat licin. Sementara anak-anaknya, meskipun masih kecil, mereka tetap punya pekerjaan.
Menemani putri semata wayang si tuan rumah bermain. Itu pekerjaan mereka. Mungkin terdengar mudah dan menyenangkan. Namun, tidak semudah itu jika tahu sifat tuan putri.
”Main bola, yuk!” ajaknya.
Kedua kembar itu mengangguk. Mulailah ketiga anak itu bermain lempar-lemparan bola dengan asyiknya.
Tapi rupanya keasyikan itu tidak berlangsung lama. Sekali sang tuan putri tidak dapat menangkap bola, wajahnya mulai ditekuk. Kedua kali bola itu tak mau mendarat si tangannya, ia malah melempar kembali bolanya dengan penuh amarah sampai si gadis kecil terjatuh. Kembarannya mengambil bola itu dan melemparnya dengan keras ke arah sang tuan putri.
Air mata mulai menetes dan tangis pun meledak dari mulut mungil sang tuan putri. Si pelayan, juga ibu dari si kembar, buru-buru datang menghampiri anak yang menangis itu.
”Kenapa?” tanyanya penuh perhatian.
”Itu,” tangannya menunjuk anak yang tadi melemparinya dengan bola. ”Dia lempar bola keras banget sampai aku jatuh.”
Mendengar pernyataan tersebut, si gadis kembar itu langsung mengelak, ”Tadi dia duluan yang lempar bola ke kakak.”
”Sudah, sudah, jangan berantem!” tegur si pelayan. “Main boneka saja, ya, di dalam.”
“Nggak mau,” ucap salah satu dari si kembar. ”Aku mau main sama kakak saja.”
”Main itu mesti sama-sama. Jangan berantem terus!”
”Habis, kalau main boneka, selalu jadi jahat. Dia terus yang jadi putrinya.”
Tuan putri menjulurkan lidahnya, mengejek. Kedua gadis kembar itu menunjukkan raut muka marah.
Si pelayan menarik napas panjang. Tiba-tiba, suatu ide untuk mendamaikan anak-anak itu terlintas di benaknya.
“Kalian ikut buat kue di dapur, mau?”
Serentak anak-anak itu menjawab, ”Mau.”
“Kue apa?” tanya sang tuan putri.
”Mau kue cokelat apa kue keju?” Si pelayan menanyainya kembali.
”Cokelat,” jawab anak-anak.
Mereka masuk ke rumah diiringi dengan senyuman puas di wajah pelayan.
Beranjak ke hari Minggu yang cerah, sinar matahari menyambut ceria dari arah Timur. Biasanya anak-anak kecil telah bangun dari tidur dan duduk di depan televisi, menonton film kartun yang memang banyak ditayangkan di hari Minggu. Begitu juga dengan sang tuan putri yang sudah sejak pagi tadi matanya tak lepas dari layar televisi.
Salah satu dari si kembar masuk ke ruang keluarga dan duduk di sebelah tuan putri. Beberapa menit lagi, acara kesukaannya segera dimulai.
”Nanti main Cinderella-Cinderella-an, yuk,” ajak tuan putri.
Ajakannya ditanggapi dengan anggukan kepala gadis itu.
”Yang jadi Cinderellanya aku soalnya yang jadi Cinderella mesti cantik. Aku yang cantik di sini.”
”Tapi, kata mama, aku juga cantik.”
Tuan putri bangkit berdiri, ”Aku yang cantik,” ucapnya keras.
”Aku,” kata gadis kembar itu sambil berdiri.
”Kalau aku bilang ’aku cantik’, ya aku cantik.”
”Mana bisa begitu.”
Didorongnya tubuh si gadis kembar sampai menubruk rak buku. Rak itu bergoyang. Guci di atasnya terjatuh dan mengenai kepala gadis kembar. Ia terjatuh tak sadarkan diri. Kemudian rak buku itu semakin bergoyang dan akhirnya menimpa tubuh gadis itu. Buku-buku berat dan rak kayu membuatnya yang menimpa tubuh mungil itu membuat nyawanya melayang. Darah meluber menodai karpet putih di ruang keluarga.
Sang tuan putri terdiam di tempatnya. Kemudian, ibunya masuk mendengar keributan itu. Raut wajahnya benar-benar terkejut melihat pemandangan di ruang keluarga itu. Ia memeluk anaknya yang masih berdiri diam. Beberapa lama kemudian, si pelayan masuk. Selama sepuluh detik ia terdiam mencerna suasana itu dalam pikirannya. Setelah tersadar, ia menangis sejadi-jadinya. Putus asa, ia berusaha mengangkat rak berat itu dari tubuh putrinya. Sementara sosok mungil lainnya berdiri di ambang pintu. Matanya berair. Tak ada yang memperhatikan dari tadi kembarannya berdiri di situ.

No comments:

Post a Comment