Wednesday 17 March 2010

Boring


Jam delapan tepat. Aku buru-buru memasukkan buku-buku kuliahku ke dalam tas secara serampangan. Aku tenggak segelas air putih. Lalu, aku pun bangkit meninggalkan kamar kos berukuran 2x3. Tergesa-gesa, aku berlari menuju kampus yang jaraknya tak jauh dari tempatku tinggal selama merantau di kota orang.
Jam delapan lewat sepuluh, aku lirik jam di handphoneku. Di depan pintu kelas aku berdiri. Ternyata sang dosen belum datang. Aku menghela napas. Untung, ujarku dalam hati. Aku masuk dengan langkah santai, lelah setelah berlarian sepanjang jalan.
”Hai!” sapa teman akrabku.
”Hai!” jawabku. ”Udah lama?”
”Apanya?”
”Datangnya.”
”Oh,” ia mengangguk. ”Dari jam delapan kurang lima belas.”
Aku mengangguk. Dalam hati aku sadar tadi itu percakapan bodoh dan tak bermutu.
Belum lama aku duduk, sang dosen separuh baya datang. Dengan gaya santainya, ia menaruh tas di atas meja. Dua jam akan dipenuhi dengan ocehannya. Aku menyandarkan punggungku ke punggung kursi. Mataku hanya memandang sang dosen dalam hitungan detik. Selanjutnya, arah pandang berbelok 45° ke dinding putih kusam. Semut-semut berbaris rapi di sana. “HUBUNGI AKU DI 085XXX” dan “ASSHOLE” yang menodai sebagian besar permukaan dinding itu langsung menyita perhatianku selanjutnya. Orang bodoh kurang kerjaan pasti yang menulisnya. Aku memang kurang kerjaan tapi aku tidak bodoh. Jadi, aku tak akan mengikuti jejak mereka.
Suara sayup-sayup nyanyian merdu terdengar telingaku. Makin lama makin keras. Mataku terbelalak saat suara itu makin nyata terdengar.
”Dengar nggak? bisikku.
”Apa?” tanya temanku heran.
”Ada orang nyanyi.”
Temanku memicingkan matanya tanda ia berkosentrasi mendengarkan sesuatu. Beberapa detik kemudian, ia menggelengkan kepalanya.
Aku merasakan efek suara merdu yang membuat bulu kuduk merinding. Aneh temanku tak bisa mendengarnya. Kemudian suara itu menghilang bersamaan dengan saat giliranku menjawab pertanyaan dari sang dosen. Buru-buru aku melihat soal yang ada di kertas di hadapanku. Ku jawab dengan penuh keyakinan. Namun, apa daya dosen itu tak mendengarnya karena suara yang terlampau kecil. Sang dosen pun menjawab sendiri soal itu. Ah, sudahlah, pikirku. Aku pun kembali berkonsentrasi terhadap suara merdu yang baru saja hilang. Benar saja, suara itu pun terdengar lagi.
Aku bangkit berdiri setelah perdebatan sengit di dalam pikiranku antara diam saja atau menyelidikinya. Langkah kakiku bergerak dan mulutku mengucap izin pergi ke WC. Aku keluar dari kelas.
Mataku menyalang mengamati keadaan sekitar. Lorong gelap yang sepi. Tak lazim karena biasanya ramai dengan anak-anak yang menunggu kuliah selanjutnya. Aku dengarkan suara yang kini sayup itu. Sepertinya berasal dari ruang kelas pojok. Perlahan, aku dekati ruang itu. Dengan jantung yang berdegup, aku mengintip ke dalamnya. Pemandangan di dalamnya membuatku merinding.
Seorang wanita berambut panjang berdiri menghadap ke jendela. Gaunnya merah panjang. Rambutnya pirang. Sosoknya persis seperti wanita bangsawan di zaman Victoria. Dari bibirnya, teruntai alunan nada merdu. Melihatnya membuatku membeku di depan kelas. Hantu, pikirku.
Wanita itu berhenti bernyanyi. Ia melirik ke arahku. Ia menghampiriku. Aku menelan ludah.
”You found me,” ucapnya.
Aku bermaksud menanyakan siapa dia tapi tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku.
”You’ve heard that. Then, sing that lullaby to my daughter,” pintanya. “I can’t found her.”
Setelah mengatakan itu, ia pergi meninggalkan ruangan. Aku mengikutinya sampai ia menghilang di ujung lorong. Tinggal aku berdiri di ruang kelas. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Langkah lunglai membawaku kembali ke kelas. Aku kembali duduk dan memandang kertas soal yang sedang dibahas.
”Eh!” panggil temanku. ”Mau kue?”
Ia menyodorkan tempat makannya padaku.
Dengan wajah sumringah aku mengambil sepotong kue seraya mengucapkan terimakasih. Sembunyi-sembunyi dari sang dosen, aku gigit kue itu. Sampai tinggal gigitan terakhir aku sadar akan satu hal.
”Kismis?!” protesku.
Temanku mengangguk.
Kutunjukkan wajah jijik padanya.
”Nggak suka,ya?”
”Banget,” ujarku sambil memberikan segigit terakhir kue darinya.
”Payah,” ejeknya.
Hiburan yang gagal, pikirku. Aku memandang ke arah pintu. Lewat seorang gadis kecil bergaun panjang, berambut pirang, dan membawa boneka. Kata-kata “Then, sing that lullaby to my daughter” terngiang di telingaku. Mungkinkah itu anaknya?
Kali ini, tak ada perdebatan sengit. Aku tetap duduk diam di kursiku. Siapa mereka aku tidak tahu. Lagipula, aku tidak hafal lagu tadi. Aku berusaha memfokuskan pikiranku ke kelas yang kuikuti sekarang.
Namun, tiba-tiba hawa aneh menghembus leherku. Belum sempat aku menoleh, tangan kecil nan putih menjulur lalu memegang tubuhku dari belakang. Kepala seorang gadis kecil bersandar di bahuku. Bibirnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku berujar, ”Sing it!”.
Aku membeku. Mataku mengelilingi ruang kelas. Tak ada yang sadar. Sang dosen masih terus berceloteh. Teman di sebelahku masih tetap memandang penuh perhatian kepadanya. Panik, aku berusaha mengingat nada yang tadi dinyanyikan ibunya. Dengan suara tak indahku, aku menyanyikannya. Kuakui ada beberapa nada yang aku karang. Namun, gadis kecil itu tampak puas. Ia mengendurkan pegangannya dari tubuhku. Tak lama ia pun melepasnya. Saat aku menengok ke belakang, gadis itu sudah menghilang.
Kelegaan serasa meledak dari dadaku. Belum lama rasa itu bertengger di dadaku, dua makhluk itu lewat di depan pintu ruang kelasku. Saling bergandengan dengan pandangan lurus ke depan. Tak melirik sama sekali ke tempatku duduk, apalagi mengucapkan terimakasih. Hanya sekilas mereka lewat tapi mataku tak kunjung lepas dari titik itu.
Ya, bagus, gumamku dalam hati. Senyum puas menghiasi wajahku. Kembali suara sang dosen memasuki telingaku. Kembali semut-semut yang berbaris rapi, juga kata-kata kotor di dinding menghiasi penglihatanku. Aku telah kembali dari imajinasi panjangku. Kebosanan pun kembali melanda.
Selanjutnya, apa lagi, ya? tanyaku dalam hati.

2 comments:

  1. kerennn, jadi intinya itu bneran apa bukan ?
    iwaww !

    ReplyDelete
  2. thnks for reading.. :)
    fiction in fiction, cb liat bagian akhir..
    hmm,, kadang tjadi beneran d pikiran saya.. hehehe :)

    ReplyDelete