Wednesday, 31 March 2010

Dead End


Tadi pagi di kala saya sedang malas-malasnya bangun dari lelapnya tidur, pikiran itu kembali mengganggu di pikiran saya. Hal yang pertama kali saya lakukan pagi ini adalah membuka laptop saya, dan melanjutkan pekerjaan saya yang itu. Ya, yang itu. Si penganggu tidur saya itu pun berhasil menyita perhatian saya pagi ini.

Si pekerjaan itu terpampang di layar laptop saya. Saya hanya memandanginya selama sekian detik. Lalu, saya taruh jari-jari saya di keyboard. Siap untuk mengetik. Tapi...

Berdetik-detik saya diam sampai akhirnya saya berkata, "Nggak tahu mau nulis apa?". Seandainya kejadian tadi pagi dikomikkan, mungkin akan ada efek-efek orang yang hanya terlihat kakinya dengan tulisan besar-besar 'GUBRAK!'

Buntu. Ditambah dengan suasana kamar berantakan saya yang tak mendukung. Akhir-akhir ini kertas-kertas mengganggu penglihatan dan ruang gerak saya. Tapi tetap tak kunjung saya rapikan.

Dengan pikiran buntu, saya paksakan mengetik apapun yang saat itu terlintas di benak saya. Waktu yang mepet terus menekan sampai akhirnya selesailah pekerjaan saya yang itu.

Tapi itu selesai, si penganggu di pikiran saya belum hilang. Bagaimana ini? Bagaimana itu? Bagaimana ini itu? Diterima takut, ditolak sebal. Seperti itulah kiranya suara-suara yang terus berbunyi di alam bawah sadar tapi sadar saya. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa apapun hasilnya pasti itu yang terbaik untuk saya. Kesimpulan klise dan tetap saja hati saya tak tenang. Suara-suara itu masih terus berbunyi.

Wednesday, 24 March 2010

Why?


Trapped in this miserable and confusing world, a big question mark appears in my mind. A question word always annoys my sight. It's "why?". Why do people say something meanwhile someone say the opposites? Why do people care about a small thing meanwhile the big problem are ignored? Why do people feel their life are alright meanwhile scare spreads out on other side of the same world?

For the sake of human, for the sake of woman, for the sake of labor, for the sake of children, etc, etc. Each man solves their problem with their own thinking. Clear? Not really. It just add some new problems.

Why don't they say for the sake of universe? The solution actually has written since long time ago. But most people deny it. They deny perfect solution?!

Why oh why?

Wednesday, 17 March 2010

Boring


Jam delapan tepat. Aku buru-buru memasukkan buku-buku kuliahku ke dalam tas secara serampangan. Aku tenggak segelas air putih. Lalu, aku pun bangkit meninggalkan kamar kos berukuran 2x3. Tergesa-gesa, aku berlari menuju kampus yang jaraknya tak jauh dari tempatku tinggal selama merantau di kota orang.
Jam delapan lewat sepuluh, aku lirik jam di handphoneku. Di depan pintu kelas aku berdiri. Ternyata sang dosen belum datang. Aku menghela napas. Untung, ujarku dalam hati. Aku masuk dengan langkah santai, lelah setelah berlarian sepanjang jalan.
”Hai!” sapa teman akrabku.
”Hai!” jawabku. ”Udah lama?”
”Apanya?”
”Datangnya.”
”Oh,” ia mengangguk. ”Dari jam delapan kurang lima belas.”
Aku mengangguk. Dalam hati aku sadar tadi itu percakapan bodoh dan tak bermutu.
Belum lama aku duduk, sang dosen separuh baya datang. Dengan gaya santainya, ia menaruh tas di atas meja. Dua jam akan dipenuhi dengan ocehannya. Aku menyandarkan punggungku ke punggung kursi. Mataku hanya memandang sang dosen dalam hitungan detik. Selanjutnya, arah pandang berbelok 45° ke dinding putih kusam. Semut-semut berbaris rapi di sana. “HUBUNGI AKU DI 085XXX” dan “ASSHOLE” yang menodai sebagian besar permukaan dinding itu langsung menyita perhatianku selanjutnya. Orang bodoh kurang kerjaan pasti yang menulisnya. Aku memang kurang kerjaan tapi aku tidak bodoh. Jadi, aku tak akan mengikuti jejak mereka.
Suara sayup-sayup nyanyian merdu terdengar telingaku. Makin lama makin keras. Mataku terbelalak saat suara itu makin nyata terdengar.
”Dengar nggak? bisikku.
”Apa?” tanya temanku heran.
”Ada orang nyanyi.”
Temanku memicingkan matanya tanda ia berkosentrasi mendengarkan sesuatu. Beberapa detik kemudian, ia menggelengkan kepalanya.
Aku merasakan efek suara merdu yang membuat bulu kuduk merinding. Aneh temanku tak bisa mendengarnya. Kemudian suara itu menghilang bersamaan dengan saat giliranku menjawab pertanyaan dari sang dosen. Buru-buru aku melihat soal yang ada di kertas di hadapanku. Ku jawab dengan penuh keyakinan. Namun, apa daya dosen itu tak mendengarnya karena suara yang terlampau kecil. Sang dosen pun menjawab sendiri soal itu. Ah, sudahlah, pikirku. Aku pun kembali berkonsentrasi terhadap suara merdu yang baru saja hilang. Benar saja, suara itu pun terdengar lagi.
Aku bangkit berdiri setelah perdebatan sengit di dalam pikiranku antara diam saja atau menyelidikinya. Langkah kakiku bergerak dan mulutku mengucap izin pergi ke WC. Aku keluar dari kelas.
Mataku menyalang mengamati keadaan sekitar. Lorong gelap yang sepi. Tak lazim karena biasanya ramai dengan anak-anak yang menunggu kuliah selanjutnya. Aku dengarkan suara yang kini sayup itu. Sepertinya berasal dari ruang kelas pojok. Perlahan, aku dekati ruang itu. Dengan jantung yang berdegup, aku mengintip ke dalamnya. Pemandangan di dalamnya membuatku merinding.
Seorang wanita berambut panjang berdiri menghadap ke jendela. Gaunnya merah panjang. Rambutnya pirang. Sosoknya persis seperti wanita bangsawan di zaman Victoria. Dari bibirnya, teruntai alunan nada merdu. Melihatnya membuatku membeku di depan kelas. Hantu, pikirku.
Wanita itu berhenti bernyanyi. Ia melirik ke arahku. Ia menghampiriku. Aku menelan ludah.
”You found me,” ucapnya.
Aku bermaksud menanyakan siapa dia tapi tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutku.
”You’ve heard that. Then, sing that lullaby to my daughter,” pintanya. “I can’t found her.”
Setelah mengatakan itu, ia pergi meninggalkan ruangan. Aku mengikutinya sampai ia menghilang di ujung lorong. Tinggal aku berdiri di ruang kelas. Lalu, apa yang harus aku lakukan?
Langkah lunglai membawaku kembali ke kelas. Aku kembali duduk dan memandang kertas soal yang sedang dibahas.
”Eh!” panggil temanku. ”Mau kue?”
Ia menyodorkan tempat makannya padaku.
Dengan wajah sumringah aku mengambil sepotong kue seraya mengucapkan terimakasih. Sembunyi-sembunyi dari sang dosen, aku gigit kue itu. Sampai tinggal gigitan terakhir aku sadar akan satu hal.
”Kismis?!” protesku.
Temanku mengangguk.
Kutunjukkan wajah jijik padanya.
”Nggak suka,ya?”
”Banget,” ujarku sambil memberikan segigit terakhir kue darinya.
”Payah,” ejeknya.
Hiburan yang gagal, pikirku. Aku memandang ke arah pintu. Lewat seorang gadis kecil bergaun panjang, berambut pirang, dan membawa boneka. Kata-kata “Then, sing that lullaby to my daughter” terngiang di telingaku. Mungkinkah itu anaknya?
Kali ini, tak ada perdebatan sengit. Aku tetap duduk diam di kursiku. Siapa mereka aku tidak tahu. Lagipula, aku tidak hafal lagu tadi. Aku berusaha memfokuskan pikiranku ke kelas yang kuikuti sekarang.
Namun, tiba-tiba hawa aneh menghembus leherku. Belum sempat aku menoleh, tangan kecil nan putih menjulur lalu memegang tubuhku dari belakang. Kepala seorang gadis kecil bersandar di bahuku. Bibirnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahku berujar, ”Sing it!”.
Aku membeku. Mataku mengelilingi ruang kelas. Tak ada yang sadar. Sang dosen masih terus berceloteh. Teman di sebelahku masih tetap memandang penuh perhatian kepadanya. Panik, aku berusaha mengingat nada yang tadi dinyanyikan ibunya. Dengan suara tak indahku, aku menyanyikannya. Kuakui ada beberapa nada yang aku karang. Namun, gadis kecil itu tampak puas. Ia mengendurkan pegangannya dari tubuhku. Tak lama ia pun melepasnya. Saat aku menengok ke belakang, gadis itu sudah menghilang.
Kelegaan serasa meledak dari dadaku. Belum lama rasa itu bertengger di dadaku, dua makhluk itu lewat di depan pintu ruang kelasku. Saling bergandengan dengan pandangan lurus ke depan. Tak melirik sama sekali ke tempatku duduk, apalagi mengucapkan terimakasih. Hanya sekilas mereka lewat tapi mataku tak kunjung lepas dari titik itu.
Ya, bagus, gumamku dalam hati. Senyum puas menghiasi wajahku. Kembali suara sang dosen memasuki telingaku. Kembali semut-semut yang berbaris rapi, juga kata-kata kotor di dinding menghiasi penglihatanku. Aku telah kembali dari imajinasi panjangku. Kebosanan pun kembali melanda.
Selanjutnya, apa lagi, ya? tanyaku dalam hati.

Thursday, 4 March 2010

Tadi


Sang fajar belum juga menyingsing,
orang-orang itu berceloteh
Untaian waktu mundur ku telusuri
Layar segi empat,
orang-orang itu berceloteh

Menafikkan segala kebenaran
Seringai keji menyayat kalbu
Setetes air mata pun meluncur turun
di saat mestinya luapan emosi ditahan

Tapi,
orang-orang itu masih berceloteh.