Monday, 9 August 2010

The Precious Thing


Saya masih ingat, waktu kecil, seseorang pernah berkata, "Nyamuk itu nakal, sukanya menghisap darah. Tapi coba kalau yang hisap darah itu gajah. Manusia pasti sudah punah. Allah itu Maha Adil, kan?!"

Decak kagum pun terlontar dari bibir saya. Dengan wajah sumringah gaya anak kecil, saya berkata, "Wah, iya, ya. Aku sayaaaannngg banget sama Allah."

Waktu bergulir, seseorang itu saat ini senantiasa mendendangkan di telinga saya, "Tuhan itu tak adil. Setiap rencana selalu tak dikehendakiNya, sementara orang lain bisa begitu mudah mendapatkan apa yang diinginkan."

Siapa yang sangka hatinya bisa berubah?

Saya juga masih ingat, seorang sahabat baik saya dulu, nafas Islami selalu terdengar dari mulutnya. Kami senantiasa bersama dalam gerak da'wah, mengkaji bersama, melewati waktu yang cukup lama untuk bisa merasakan keterikatan yang cukup mendalam.

Namun, kembali karena waktu yang terus berjalan, dia memutuskan berhenti berjalan di jalan yang lurus ini. Dia pun memilih kembali menelusuri kegelapan.

Tak ada yang menyangka hatinya bisa berubah.

Rasanya banyak hal yang ingin saya dapatkan untuk hidup di dunia yang kenyataannya sangat singkat ini. Tapi dari sedikitnya pengalaman yang saya punya, cukup memberikan saya pelajaran berharga tentang sesuatu yang paling berharga.

Ya, Allah tetapkan hatiku di mana aku hanya bergerak untuk menggapai ridhoMu.

Saturday, 7 August 2010

Friday, 6 August 2010

Maaf, tapi...

Hari itu, pikiran saya masih tak mampu menggapai kejadian yang itu. Semuanya terjadi begitu saja. Tertumpah dalam air mata, kekecewaan, dan makian. Bahkan dalam wujud lemparan yang saya sesali selanjutnya.

Keras kepala masih mendominasi hingga kini. Namun, saya masih ingat persis berkat keras kepala ini saya bisa 'hidup' sampai sekarang. Lalu kembali ke kejadian di hari itu, entah harus saya apakan telinga yang sudah terlanjur mendengarnya. Mulut pun seakan terbungkam hingga lontaran yang tadinya dengan lantang saya ucapkan jadi tersumbat. Spidol melayang dari tangan saya lalu yang selanjutnya bantal pun ikut terbang ke arahnya. Saya akhirnya pergi meninggalkan arena diiringi bantingan pintu keras-keras.

Benar, benar yang sudah orang itu katakan, bila kondisinya seperi itu. Tapi, saya ingin memilih jalan lain, jalan yang tentunya lebih baik. Kalau saya menganggap orang itu penuh kegagalan, saya mau memperbaikinya untuk masa depan saya. Berkaca dari pengalamannya, saya tak ingin melakukan hal yang sama, terjebak di situasi yang sama. Tapi apa ucapan ini terlalu perih? Keras kepala saya bilang tak apa mengungkapkan sebuah kebenaran walau itu perih. Keras kepala saya bilang tak apa agar orang itu tahu apa yang ada di pikiran saya selama ini.

Dia mengungkapkan hal-hal yang membuat saya berperan menjadi tokoh antagonis. Saya-lah yang telah menyakitinya. Saya-lah yang tak tahu terimakasih. Detik bahkan jam berlalu, tak ada satu kesimpulan pun yang dapat ditarik. Yang terakhir cuma menyisakan kesan 'saya marah' dan 'dia kecewa'.

Maaf,
saya tidak bisa dan tidak ingin menjadi seperti yang dia idam-idamkan. Tapi saya bukan anak durhaka.